ETHNOGREEN Indonesia sejak tahun 2014 telah menyelenggarakan program-program penelitian dan pemberdayaan Masyarakat. M. Nasir Tamalene (Acil nama sapaan) menggunakan kata ETHNOOGREEN karena riset Disertasinya tentang Ethnobiology yang berfokus pada ETHNOKOKONSERVASI komunitas Tobelo Dalam di Pulau Halmahera. komunitas ini merupakan kelompok rentan dan terisolasi. Dari pengalaman kajian inilah beliau merumuskan konsep ETHNOGREEN sebagai dasar dalam memahami aktivitas suatu kelompok entis dalam pelestarian lingkungan, pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan dengan sudut pandang Emic/Masyarakat local yang lahir dari struktur kebudayaan. Gagasan ETHNOGREEN ini adalah gagasan untuk melestarikan lingkungan dengan memperkuat budaya dari berbagai kelompok etnis di Indonesia.
Pada tahun 2024 ETHNOGREEN dikembangkan dalam bentuk pendirian Yayasan, Langkah ini dilakukan sebagai wujud pelaksanaan KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992 dan Deklarasi Tokyo tahun 1993 dimana pimpinan tiga negara yaitu Amerika Serikat, Jepang dan Indonesia sepakat bekerja sama untuk membantu program pelestarian keanekaragaman hayati secara berkelanjutan di Indonesia. Deklarasi Kari-Oca (Rio de Janeiro, 1992 & 2012) dan Deklarasi masyarakat adat dunia saat KTT Bumi (Earth Summit), menegaskan bahwa bumi adalah milik bersama dan bahwa pengetahuan tradisional merupakan dasar untuk keberlanjutan. Indonesia dengan beragam budaya, menjadi kunci pelestarian alam dengan pendekatan etnis.
Kami berpendangan bahwa pelestarian keanekaragamana hayati tidak terlepas dari pelestarian keanekaragaman budaya, United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP, 2007), mengakui hak masyarakat adat untuk mempertahankan hubungan spiritual, tradisional, dan budaya dengan tanah, wilayah, dan sumber daya mereka. Indonesia memiliki kekayaan budaya yang tinggi, yang tidak dimiliki oleh negara lain. ETHNOGREEN Adalah konsep yang menyatukan antara keanekaragaman hayati dan budaya.
Dalam Convention on Biological Diversity (CBD, 1992) menegaskan pentingnya pengetahuan, inovasi, dan praktik masyarakat adat dalam konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati. Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (GBF, 2022) dijelaskan tentang Visi global “Living in Harmony with Nature by 2050” yang mengakui peran kunci masyarakat adat dan komunitas lokal (Indigenous Peoples and Local Communities / IPLCs) dalam pencapaian target konservasi. The Nagoya Protocol (2010) menjamin akses yang adil dan setara terhadap manfaat (Access and Benefit Sharing / ABS) dari pemanfaatan sumber daya genetik, termasuk pengetahuan tradisional masyarakat adat. IPBES (Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services). Laporan global IPBES berulang kali menekankan bahwa kawasan yang dikelola masyarakat adat sering memiliki tingkat keanekaragaman hayati lebih tinggi daripada kawasan yang hanya dikelola negara. Pernyataan tersebut memperkuat konsep ETHNOGREEN yang dikembangkan dalam bentuk Yayasan sebagai bagian penting organisasi nirlaba yang berperan dalam Pembangunan nasional bahkan global.
ETHNOGREEN berperan sebagai jembatan antara pelestarian keanekaragaman hayati dan kekayaan budaya. Dalam mewujudkan visi dan misinya, ETHNOGREEN membangun kemitraan dengan berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat dan daerah serta dengan berbagai negara, dunia usaha, perguruan tinggi, LSM/KSM, asosiasi profesi, hingga media massa. Kolaborasi ini menjadi kunci untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati Indonesia sekaligus memperkuat keragaman budaya, sehingga manfaatnya dapat terus dirasakan oleh generasi sekarang dan diwariskan bagi generasi mendatang.